TentangAbdul Hadi W. M. Abdul Hadi W. M. lahir di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dan kemudian pindah ke fakultas filsafat universitas yang sama. Kumpulan puisinya Meditasi (Balai Pustaka), kumpulan esainya Gambar Manusia dalam Sastra. Mengasuh ruang kebudayaan Dialog di harian Berita 13 Tujuan Penulisan Makalah. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : Untuk mengetahui analisis metode puisi (unsur ragawi/bentuk) yang terdapat dalam sajak 'Berdiri Aku' karya Amir Hamzah. Untuk mengetahui analisis hakekat puisi (unsur jiwani/isi) yang terdapat dalam sajak 'Berdiri Aku' karya Amir Hamzah. Hampirtiga jam saya memikir, memilih, mencari dan menggapai ilham. Saya menulis, memadam dan menulis lagi untuk dijadikan satu rangkaian puisi yang saya yakin tidak akan mengecewakan Hamka jika beliau membacanya. Inilah hasilnya, puisi saya tulis di daerah kelahiran Almarhum: Puisi Padang 1. Apakah yang kucari. Membiaraku berjuang sendiri, Hilang hanyut tiada bertolong. Demikian Ani rasanya diri, Sejak kamas engkau tinggalkan, Tidak berkata tidak berpesan. =SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA= Diposting oleh Perjalanan Sang Merpati Putih di 07.22. Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest. Label: SUTAN BeliPUISI BARU Sutan Takdir Alisjahbana di N,70@book store. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Berjualan Promo Tokopedia Care. Kategori. Masuk Daftar. jaket pria case iphone 12 redmi note 9 ps 2 ursa 1MAKNA YANG TERSIRAT DALAM BAHASA PUISI JANGAN TANGGUNG JANGAN KEPALANG KARYA SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA Hastari Mayrita Dosen Universitas Bina Darma, Author: Harjanti Rachman 33 downloads 692 Views 224KB Size Tim indoSastra Pencari Karya Sastra yang Bermutu Tinggi. Sastra Angkatan Pujangga Baru, bentuk: Puisi. Karya: Sutan Takdir Alisjahbana Ini adalah salah satu puisi yang diciptakan dengan rangkaian makna indah oleh STA, tentang keyakinan masa depan dan keagungan Tuhan, kata mengalir pasti dengan pola yang terencana apik Puisibaru berdasarkan isinya yaitu : o Balada adalah puisi berisi kisah/cerita. o Himne adalah puisi pujaan untuk tuhan, tanah air, atau pahlawan. o Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam o Riwayat Sekaliaku duduk dibawah pohon karet dan terkejut mendengar letusan nyaring diatas kepalaku: biji matang menghambur dari batangnya. Ya, aku tahu, dimana-mana tumbuh menghendaki bebas dari ikatan! * Terdengarkah itu olehmu, wahai angkatan baru? Putuskan, hancurkan segala yang mengikat! Salahsatu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembangkarangan Sutan Takdir Alisjahbana. Layar Terkembang merupakan kisah roman antara tiga muda-mudi, yaitu: Yusuf, Maria, dan Tuti. Berikut ini dapat kita pelajari Roman Layar Terkembang. Yusuf adalah seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita. 4DeO0AB. Islam Episode 1 Puisi Aku Dan Tuhanku karya Sutan Takdir Alisjahbana. Puisi ini mempunyai ceritanya sendiri semasa saya masih SMP dulu. Pernah saya bacakan di depan guru juga waktu itu. Kenangannya panjaaaaang. Autres Ă©pisodes Episode 1 Puisi Aku Dan Tuhanku karya Sutan Takdir Alisjahbana. Puisi ini mempunyai ceritanya sendiri semasa saya masih SMP dulu. Pernah saya bacakan di depan guru juga waktu itu. Kenangannya panjaaaaang. Autres Ă©pisodes ï»żAku dan Tuhanku Tuhan,Kaulahirkan aku, tak pernah kumintaDan aku tahu, sebelum aku KauciptakanBerjuta tahun, tak berhingga lamanya,Engkau terus-menerus mencipta berbagai pemusnah mahaperkasa,Apa yang Kauciptakan, penuh kasih-sayang,Engkau hancur-remukkan, Engkau musnahkan,Pasti, tiada sangsi, keras dan aku tahu, suatu saat tertentu,Engkau sendiri menetapkan waktu dan tempatnya,Akupun akan Kaulenyapkan kembali, tentu dan pasti,Tak pernah akan kutahu alasan dan sesudah aku kembali dalam ketiadaan,Engkau terus-menerus dengan permainanMuBerjuta-juta tahun lagi, abadiTenang mantap, seolah aku tak pernah Engkau terus bermain, tak hentinya,Berbuat menghancurkan dan mencipta memusnahkan kembali,Terus-menerus memulai dan mengakhiri,Tak bosan-bosannya dalam kekekalan kekuasaanMu Engkau sungguh sewenang-wenang,Menjalankan siasat dan muslihatMu,Yang hanya Kau sendiri tahu hanya dapat berkhayal dan menduga-duga,Untuk akhirnya hanya menyerah, tiada Engkau memberiku hidup sesingkat ini,Dan berjuta-juta tahun kemahakayaanMu?Setetes air dalam samudra tak bertepi!Alangkah kikirnya Engkau dengan kemahakayaanMu!Tetapi Tuhan,Kepadaku Engkau anugerahkan hikmat,Tiada ternilai seuntai mutiara hidupku,Pertama hayat-jasad, senantiasa gelisah,Terus bertunas, berkembang dan siapkan pula aku dengan mukjizatHati perasa, tulus dalam menerima segala,Riang gelak tertawa bila bersukariaPilu sedih menangis bila malang dengan makhluk sesama,Kawan senasib terdampar di berjuang sepenuh hati dalam berjuang,Merah marak bernyala dalam Tuhanku,Dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam!Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan,Terus-menerus limpah-ruah Engkau curahkan,Meski kuinsaf kekecilan dan kedaifankuDi bawah kemahakuasaanMu dalam kemahaluasan lengkapi juga aku dengan kecerdasan akal,Yang memungkinkan aku berpikir dan memahamiKebebasan dan keserbaragaman ciptaanMu,Seluk-beluk rahasia permainan Engkau tenaga imaginasi Engkau limpahkan,Aku dapat mengikuti dan meniru permainanMuGirang berkhayal dan mencipta pelbagai ragam,Terpesona sendiri menikmati keindahan Kauturunkan aku seperti diriMuGelisah tak jemu-jemu berbuat dan berkarya,Terus tumbuh bertunas dan berkembang meluaskan diriHendak menyamaiMu dalam keaktifan dan di atas dan di atas segala atas,Kauberi aku mukjizat di atas segala mukjizatKebebasan mengamati, menilai dan memutuskan,Dengan iktikat, tanggung jawab dan dambaan arti dan martabat kepada sececah hidup,Dalam kemurahan hatiMu aku Engkau rahmati,Sehingga dapatlah aku mengetahui alam sekitarDan seperti Engkau berbuat dan mencipta mengubah segala,Sehingga sanggup pula berkarya mencipta penaka DikauDalam kebebasan ke segala arah Engkau curahkan,Aku dapat kemasukkan keangkaraan dan KeserakahanDan dengan buta nekat menolak pemberianMu,Karena kuanggap terlampau kecil dan tak berarti,Tak sepadan kemahabesaran dan bedil, setusuk keris, setetes racun,Telah cukup bagiku untuk lenyap kembaliKe dalam ketiadaan tempatku semula berasal,Sehingga dapatlah Engkau, Tuhan mahaperkasa,Meneruskan permainanMu, tak usah kusertaiTetapi betulkah hanya itu kemungkinan,Yang dapat kupilih dan kulakukanDengan kepekaan hati dan kecerdasan akalku,Serta kelincahan angan mengkhayal dan mencipta?Tidak, tidak ya Allah ya Rabbi,Dalam nikmat rahmat kebebasan,Yang dengan murah hati Engkau curahkan,Dapatlah aku dengan tulus dan bertanggung jawabMenilai dan memutuskan sendiri martabat dari angkara murka mengingkariMu,Akupun dapat dengan tegas, tak ragu-raguGirang dan gembira menjunjung anugerahMu,Memanfaatkan segala kesempatan selama hidupku,Meski bagaimana sekalipun singkatnya terbukalah bagiku kesempurnaan cahayaMu,Cahaya dan segala cahaya,Melingkupi segala cahaya di bumi dan langit,Memenuhi segala yang tercipta dan dapatlah aku menyaksikan dan memahami,Malahan mengagumi dan menikmati keragaman ciptaanMu,Permainan dahsyat dan gaib penuh rahasia,Yang Engkau mainkan terus-menerus, abadi,Dalam kekudusan dan keagungan sinar Tuhan,Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahayaMu,Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasihMu,Aku akan memakai kesanggupan dan kemungkinan,Sebanyak dan seluas itu Kaulimpahkan kepadaku,Jauh mengatasi makhluk lain khalifah yang penuh menerima sinar cahayaMuDalam kemahaluasan kerajaanMu, tak adalah pilihanDari bersyukur dan bahagia bekerja mencipta,Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa,Tidak tanggung, tidak akan tegas dan bulat iktikad,Positif mantap, selalu gairah membangun,Gembira dalam setiap melangkah dan bertindak,Meskipun jatuh terhempas dalam usaha dan damba,Aku akan ikut serta dalam kedahsyatan permainanMu,Senantiasa dengan kecerahan optimisme mengejar cita,Bersolidaritas dengan segala sesama makhluk,Mendambakan kerukunan dan kesejahteraan hidup Allah ya Rabbi,Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkanDalam kebesaran dan kedalaman kasihMu,Akan kukembangkan semarak semekar-mekarnyaSampai saat terakhir nafasku Engkau memanggilku kembali kehadiratMu,Ke dalam kegaiban rahasia keabadianMu,Dimana aku menyerah tulus sepenuh hatiKepada keagungan kekudusanMu cahaya segala cahaya. Toya Bungkah, 24 April 1989Sumber Horison Juni, 1989Puisi Aku dan TuhankuKarya Sutan Takdir AlisjahbanaBiodata Sutan Takdir AlisjahbanaSutan Takdir Alisjahbana lahir pada tanggal 11 Februari 1908 di Natal, Mandailing Natal, Sumatra Takdir Alisjahbana meninggal dunia pada tanggal 17 Juli Takdir Alisjahbana adalah salah satu sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Sebagai seorang penulis, Sutan Takdir Alisjahbana 1908 – 1994 telah menghasilkan lebih dari empat puluh buku, yang mana di antaranya berupa sepuluh buku kajian budaya 1950 – 1989, sepuluh buku ilmu bahasa antara tahun 1936 – 1977, tujuh roman antara tahun 1929 – 1978, enam buku ilmu 1978, lima buku kajian seni antara tahun 1980 – 1985, lima buku kumpulan puisi antara tahun 1935 – 1983, dan dua buku ilmu pendidikan pada tahun 1984 dan 1956. Dari segi bentuk, karya-karya yang dihasilkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana cenderung didominasi oleh jenis prosa. Dikarenakan dominasi prosa pada sebagian besar karya yang dihasilkannya tersebut, ia dijuluki “prosawan” oleh para pengamat sastra di Indonesia. Karya prosa Sutan Takdir Alisjahbana terbagi ke dalam dua bentuk, yakni roman dan novel. Roman yang paling terkenal berjudul Layar Terkembang 1936, sedangkan novel terpopulernya adalah Anak Perawan di Sarang Penyamun 1940. Selain prosa, Sutan Takdir Alisjahbana juga aktif menulis puisi dan drama yang bersifat signifikan dan berwarna baru. Beberapa puisi fenomenal Sutan Takdir Alisjahbana dapat disimak dalam kumpulan sajak Tebaran Mega 1935. Sedangkan pada kategori drama, ia menghasilkan satu jenis drama bersajak dalam Kebangkitan Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru 1984. Untuk menemukan unsur paham Barat dalam karya-karya sastra Sutan Takdir Alisjahbana, maka kegiatan analisis hanya dibatasi pada dua karya yang dianggap paling berpengaruh, yakni 1 roman Layar Terkembang 1936 dan 2 puisi Menuju ke Laut 1946. Sebagai tambahan, puisi Menuju ke Laut akan dibahas secara utuh, sedangkan roman Layar Terkembang berbentuk sinopsis. Tuti merupakan kakak kandung dari Maria. Keduanya memiliki sifat yang berbeda; Tuti berpembawaan serius, pendiam, memiliki pemikiran modern serta aktif dalam memperjuangkan hak penyetaraan gender. Sedangkan Maria adalah gadis periang, lincah dan mudah bergaul. Keduanya merupakan anak dari Raden Wiriatmajda, seorang mantan wedana Banten yang telah lama menduda sepeninggalan istrinya. Ketika sedang berada di gedung akuarium pasar ikan, Maria dan Tuti berkenalan dengan seorang mahasiswa kedokteran asal Martapura, Sumatra Selatan yang bernama Yusuf. Beberapa waktu kemudian, ketiganya menjadi akrab dan menghabiskan hari itu bersama-sama. Pada penghujung pertemuannya, Tuti dan Maria kemudian diantarkan pulang ke rumah oleh Yusuf. Yusuf diketahui telah menaruh hati terhadap Maria sejak pertama kali bertemu. Beberapa waktu kemudian, keduanya semakin dekat dan memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Di sisi lain, Tuti cenderung menjauhi segala bentuk hubungan asmara dengan cara selalu menyibukkan dirinya dalam kegiatan membaca serta mengikuti berbagai kongres yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Dikarenakan hubungan asmaranya yang semakin serius, keluarga Maria dan Yusuf akhirnya sepakat untuk mempertunangkan putra-putrinya. Namun demikian, Maria terpaksa harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit tuberkulosis di hari-hari menjelang pernikahannya. Semasa menjalani perawatan, kondisi kesehatan Maria terlihat semakin memburuk. Terlebih lagi ketika dirinya mengalami serangan batuk berdarah yang mampu merenggut nyawanya. Setelah menyadari masa-masa kritis tersebut, Maria kemudian berpesan kepada Tuti agar sudi untuk menggantikan posisinya serta menikahi Yusuf sepeninggalannya. Di penghujung cerita, Maria akhirnya pun meninggal dunia. Sementara itu, Yusuf dan Tuti telah mewujudkan wasiat yang diamanahkan oleh Maria dengan cara menjalani hidup bersama sebagai pasangan suami istri Layar Terkembang, 1936 sinopsis roman. – Hasil Analisis Jika dicermati, roman Layar Terkembang sejatinya membahas tentang sifat-sifat dari dua tokoh cerita, yaitu Tuti dan Maria yang diketahui saling bertolak belakang. Karakter Tuti digambarkan pengarang sebagai sosok idealis dan kritis, sedangkan Maria mewakili sosok yang lemah lembut dan bersahaja. Layar Terkembang diyakini kritikus sastra sebagai bentuk dari representasi simbolis mengenai pertentangan anutan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut dijelaskan oleh Tham Seong Chee dalam Essays on Literature and Society in Southeast Asia Political and Sociological Perspectives 1981 105, antara lain sebagai berikut “In his novel Layar Terkembang, Takdir Alisjahbana systematically embodies his ideas in the characters and situations created in the novel... the novel and its characters are symbolic, as it was the intention of the author to convey meanings and values considered to be of dominant concern in resolving the issues of cultural developments through the characters in the novel... lack of agreement between two characters is matched by incompatibility of values between the two, and this in effect suggests a clash of symbols of meaning as well”. “Dalam novel Layar Terkembang, Takdir Alisjahbana secara sistematis menerapkan gagasan-gagasan ke dalam tokoh-tokoh dan keadaan-keadaan yang diciptakannya... novel dan tokoh-tokohnya bersifat simbolis, yang merupakan tujuan pengarang guna menyampaikan serangkaian makna serta nilai yang dianggap dominan sebagai penyelesaian berbagai masalah perkembangan kultural melalui tokoh-tokohnya... ketidaksepahaman kedua tokoh tersebut dipertandingkan dengan ketidaksesuaian nilai-nilai yang dianut oleh keduanya, dan sebagai hasilnya menyajikan tentang pertentangan simbol-simbol makna”. Berangkat dari argumen tersebut, tersimak usaha-usaha Sutan Takdir Alisjahbana untuk menggambarkan representasi wawasan modern yang dipertentangkan dengan paham tradisional melalui simbol-simbol yang terkandung di dalam roman. Adapun hal tersebut diterangkan oleh Chee 1981 106, sebagai berikut “Tuti, the elder is... independent, socially confident, articulate, egoistic, the emancipated. She believes in speaking her own mind... To her everything must be weighed rationally, intellectually, and incisively from the viewpoint of the individual. She is extremely active in politics, and participates in debates, forums, and public meetings... On the other hand, there is Maria, symbolic of the traditional ideal woman. Secure in the protection of her family, she is demure, loving perhaps emotional, caring, gentle, sensitive, and loyal. She has no great ambition to alter the world and not particularly articulate. She desires harmony with the world”. “Tuti, sang kakak... independen, percaya diri, lugas, egois, yang tak suka dikekang. Ia meyakini pemikiran-pemikirannya... Baginya segala sesuatu politik, dan mengikuti debat-debat, forum-forum, dan pertemuan-pertemuan publik... Sebaliknya, Maria, sebagai simbol ideal wanita tradisional Indonesia. Aman dalam lindungan keluarganya, ia sopan juga pemalu, penyayang mungkin gampang terbawa perasaan, peduli, lembut, perasa, dan setia. Ia tidak memiliki ambisi besar untuk merubah dunia dan tidak begitu lugas. Ia menginginkan keselarasan dalam dunia”. Sutan Takdir Alisjahbana diyakini telah memposisikan tokoh Tuti sebagai cerminan dari wanita berpaham Barat yang berjiwa modern dan mandiri, sedangkan posisi tokoh Maria mencerminkan sifat wanita Indonesia tradisional yang cenderung penurut dan pasif. Lebih lanjut mengenai hal tersebut, disampaikan oleh Chee 1981 111 – 112 sebagai berikut “In Layar Terkembang there was an attempt to present the dilemma of a modern educated Indonesian woman in Tuti, and the psychological urging in her to be a woman, to marry, to settle down to the role of a traditional wife. However, the author tended to allow his ideological inclinations to dominate her and the novel, which results in an unconvincing working out of the confrontation between traditional values and modern assumed to be western values... It is the tendency to see one as dominantly Eastern and the other as dominantly Western that had been a major shortcoming of the novel of social criticim during this period”. “Dalam novel Layar Terkembang terdapat usaha untuk menceritakan dilema yang dialami oleh seorang wanita terdidik Indonesia dalam tokoh Tuti, dan keinginan kerasnya untuk menjadi seorang wanita secara utuh, membiasakan diri sebagai ibu rumah tangga. Walaupun demikian, pengarang cenderung untuk mendominasi Tuti dan novel dengan pengaruh ideologinya, yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dalam hal penyelesaian pertikaian antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern diyakini berkiblat ke nilai-nilai Barat... Ini ditekankan untuk melihat seseorang yang dominan ke Barat sementara orang lainnya dominan ke Timur yang menjadi kelemahan terbesar dalam novel kritik sosial periode tersebut”. Menjelang akhir cerita roman, ditemukan simbol-simbol berupa peralihan Yusuf dan Tuti. Adapun peristiwa kematian tokoh Maria dianggap telah menggambarkan tentang pengakhiran paham tradisional yang identik dengan sifat lemah, kuno dan dependen, sedangkan pernikahan Yusuf dan Tuti dimaknai sebagai gejala-gejala modernisasi sikap masyarakat. Lebih lanjut mengenai penjelasan tersebut, disampaikan oleh Chee 1981 106 sebagai berikut “Yusuf... is her fiance and she sees herself as eventually becoming his wife, to be his consistent and companion for life, living in the shadow of his protection. However, she contracts tuberculosis and dies, but not before she has made Tuti and Yusuf promise that they would eventually wed each other-a development symbolic of the demise of the old and the inevitable take-over of the new”. “Yusuf... adalah tunangannya dan ia melihat dirinya Maria sebagai calon istrinya, menjadi pendamping hidupnya yang setia, hidup dalam bayang-bayang perlindungannya. Namun demikian, ia terserang penyakit tuberkulosis dan akhirnya meninggal dunia, setelah sebelumnya sempat meminta Tuti dan Yusuf berjanji agar dapat saling menikahi-sebuah perkembangan simbolis mengenai kematian paham lama yang diambil alih oleh paham baru”. Ditinjau dari segi penggunaan bahasa, roman Layar Terkembang dituliskan dalam sebuah bentuk konstruksi baru, namun masih dipengaruhi oleh adat Melayu Lama. Konstruksi baru yang dimasud adalah berupa jarang terjadinya dialog antara satu tokoh dengan tokoh lainnya Siregar, 1964 101. Sedangkan dari segi tendensnya, roman Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana telah berhasil menggiring fokus konflik antara budaya tradisional dan budaya individual menjadi sarana kebangkitan semangat nasionalisme kaum muda, sekaligus pemicu pergerakan kaum feminis Indonesia. Berikut adalah puisi utuh dari judul yang dimaksud Puisi Menuju ke Laut dikenal luas sebagai salah satu karya dari Sutan Takdir Alisjahbana yang ditulis dalam majalah Pembaruan edisi tahun 1946 Alisjahbana, 1946 64. Meskipun demikian, ia sejatinya merupakan konten asli dari Madjalah Poedjangga Baru yang telah terbit pada pertengahan tahun 1930-an Foulcher & Day, 2008 235. Menurut jenisnya, Menuju ke Laut termasuk merupakan puisi bebas, yaitu puisi dengan pola persajakan dinamis tidak tetap. Selain itu, puisi tersebut juga menggunakan jenis rima patah yang diwarnai dengan unsur asonansi bunyi vokal sebaris dan aliterasi bunyi konsonan sebaris. Lebih lanjut, dilakukan analisis intrinsik dan ekstrinsik terhadap puisi yang dimaksud. – Analisis Intrinsik Ditinjau dari segi tipografi, puisi Menuju ke Laut terdiri dari lima sekstet sajak enam seuntai pada bait pertama, kedua, ketiga, keempat, dan keenam dan satu kuintet sajak lima seuntai pada bait kelima. Pada bait pertama, bentuk persajakannya adalah a-b-c-d-c-e dengan dominasi asonansi bunyi –i pada kata kami, dari, sekali, dan mimpi dan aliterasi bunyi -n pada kata meninggalkan, rimbun, angin, topan, dan terbangun. Bait kedua bersajak a-b-c-d-a-e dengan asonansi bunyi -a pada kata ria, rata, berlomba, mega dan aliterasi bunyi -ng pada kata gelanggang, berulang, jurang, ditantang, dan diserang. bunyi -a pada kata reda, lama, rasa, segala, dan apa dan dominasi aliterasi bunyi -ng pada kata berjuang, penghalang, menyerang, dan menghadang. Pada bait keempat terdapat persajakan a-b-c-d-e-f dengan asonansi bunyi -a pada kata bercahaya, suara, dan bahna dan aliterasi bunyi -r pada kata terhemaps, berderai, bercahaya, bunyi -l pada kata keluh, gelak, silih. Bait kelima menggunakan persajakan a-b-c-d-e dengan asonansi bunyi -a pada kata betapa, sukarnya, dan tiada dan aliterasi bunyi -n pada kata jalan, badan, pikiran, dan ketenangan. Pada bait keenam, puisi menggunakan pola persajakan a-b-c-c-c-d dengan asonansi bunyi -i pada kata kami, dari, sekali, dan mimpi dan aliterasi bunyi -n pada kata meninggalkan, rimbun, angin, topan, dan terbangun. Dalam hal penggunaan diksi, puisi Menuju ke Laut menggunakan majas personifikasi pada kata “ombak ria berkejar-kejaran” dalam bait kedua, “tebing jurang ditantang diserang” dalam bait kedua, “bergurau bersama angin” dalam bait kedua, dan “berlomba bersama mega” dalam bait kedua; majas hiperbola pada “ketenangan lama rasa beku”, ”terhempas berderai bercahaya” dalam bait ketiga, dan “hati hancur” dalam bait kelima; majas depersonifikasi pada “pikiran kusut” dalam bait kelima; majas pleonasme pada “tasik yang tenang, tiada beriak” dalam bait pertama dan terakhir; majas metafora pada “berontak hati hendak bebas” dalam bait ketiga; dan majas alegori dalam keenam bait puisi, dan lain-lain. Puisi Menuju ke Laut berisi tema pembaruan pola pikir masyarakat, yaitu yang terkait dengan usaha perombakan terhadap pola pikir kaum intelektual Indonesia dengan cara meninggalkan ruang tradisi lama untuk kemudian berevolusi mengikuti tradisi baru Mohamad, 2005 253. Sutan Takdir Alisjahbana diketahui menggunakan imaji citraan dan majas dalam puisi tersebut guna mengkritik kebudayaan lama yang dianggap pasif dan statis. Dengan kata lain, inti dari puisi tersebut adalah mengenai transisi nilai-nilai tradisional ke arah kehidupan era modern yang penuh kegelisahan. Lebih lanjut mengenai argumen tersebut, dijelaskan Mohamad 2005 252 – 253 sebagai berikut “”KAMI telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak”. Baris itu dari sajak Menuju ke Laut. Metafora itu kita kenal dari sebuah tasik yang tanpa gelombang ke sebuah laut yang gemuruh, dari sebuah kehidupan yang teduh terlindungi “dari angin dan topan” ke sebuah kehidupan yang didefinisikan sebagai dinamika yang resah. S. Takdir Alisjahbana memasangnya sebagai semacam manifesto dari “Angkatan Baru” di tahun-tahun awal 1930-an Indonesia. Sang penulis Layar Terkembang itu memaklumkan bahwa sebuah generasi intelektual Indonesia telah menyatakan angkat sauh meninggalkan tradisi. Mereka telah “terbangun dari mimpi yang nikmat”. Pesona dunia lama telah retak. ”Ketenangan lama rasa beku, /gunung pelindung rasa pengalang”... Maka mereka pun berangkat ke kegelisahan modern. Atau, dalam kiasan sajak itu, ke arah laut dengan gelombang buih yang berani”. Dibahas dari aspek penggunaan imaji, puisi Menuju ke Laut melekatkan simbol-simbol makna pada kata “tasik” danau dan kata “laut” sebagai representasi batasan spasial scope, yakni berhubungan dengan besar kecilnya cakupan wilayah berikut masing-masing sifat yang diwakilinya. Kata “tasik” mewakili tradisi lama yang dianggap sempit wilayah persebarannya; sedangkan Selain itu, kata “tasik” dan “laut” dijadikan sebagai analogi suatu wadah muatan air, yakni dimana “tasik” dianalogikan sebagai muatan air berwadah kecil, tidak berombak, dan cenderung tenang; sementara kata “laut” sebagai kiasan muatan air berwadah besar yang berombak liar. Namun jika dicermati, sesungguhnya fokus makna dari kedua imaji tersebut berada pada arah persebaran airnya; dimana air dimaknai sebagai manifetasi dari suatu anutan paham yang harus diperjuangkan. Dengan kata lain, Sutan Takdir Alisjahbana berusaha menegaskan bahwa “laut” bukanlah pencapaian akhir dari sebuah misi tapi justru suatu tantangan dan awal dari perjuangan Chee, 1981 34. Amanat puisi Menuju ke Laut terletak pada bait pertama dan kedua, yaitu ajakan untuk meninggalkan kebudayaan Indonesia lama menuju kebudayaan Indonesia modern yang bersifat lebih dinamis dan menantang. Berkaitan dengan hal tersebut, dijelaskan oleh Chee 1981 105 sebagai berikut “In his poem, “Towards the sea”, dedicated to the New Generation, ...The new society and the new cutural orientation must therefore be like Waves rushing ahead of each other in the blue cockpit bounded by the sky. The spreading sands continuously kissed, steep banks forever assailed and attacked in laughter with the winds in race with the clouds”. Kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak, diteduh gunung yang rimbun, dari angin dan topan, Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat. ...Maka masyarakat baru dan orientasi kultural yang baru harus seperti Ombak ria berkejar-kejaran di gelanggang biru bertepi langit pasir rata berulang dikecup, tebing jurang ditantang diserang, dalam bergurau bersama angin, dalam berlomba bersama mega”. Lebih lanjut, Chee 1981 105 menambahkan bahwa puisi Menuju ke Laut secara simbolis mengajak bangsa Indonesia untuk membentuk masyarakat sosial dinamis yang bercirikan penganutan sistem nilai intelektualme, egoisme, materialisme, dan individualisme. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi tersebut digunakan Sutan Takdir Alisjahbana sebagai sarana westernisasi.